KERJASAMA INDONESIA-AMERIKA SERIKAT
Hubungan RI dan Amerika Serikat (AS) telah terbina sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Kemudian pada 28 Desember 1949, Amerika Serikat membuka Kedutaan Besar Amerika di Jakarta dan menunjuk Duta Besar AS pertama untuk Indonesia, Horace Merle Cochran. Pada 20 Februari 1950, Pemerintah Indonesia menunjuk Dr. Ali Sastroamidjojo sebagai Duta Besar RI pertama untuk Amerika. Selanjutnya kedua negara melakukan kerjasama di berbagai bidang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kedua belah pihak.
Indonesia dan Amerika Serikat
memiliki landasan kuat dalam melakukan kerjasama untuk kepentingan kedua
belah pihak yang berlandaskan pada adanya nilai-nilai dasar yang
dihormati bersama (shared values), yaitu demokrasi, good governance,
penghormatan hak asasi manusia, dan masyarakat yang plural dan toleran.
Berdasarkan landasan tersebut, Indonesia mengharapkan tercapainya
hubungan yang lebih luas dan mendalam dengan pemerintah AS di masa
mendatang, berdasarkan prinsip equity, mutual respect dan mutual benefit.
Landasan
ini tidak serta merta membuka peluang dan jalan mulus bagi Indonesia
dalam melakukan kerjasamanya dengan Amerika mengingat kedua belah pihak
memiliki standar dan kriteria berbeda khususnya norma dan budaya
kelokalan yang dimiliki. Meskipun telah disepakati kerja sama bersifat
menyeluruh melalui dukungan terhadap integritas teritorial, perkembangan
demokrasi dan reformasi, serta upaya Indonesia dalam menjaga stabilitas
nasional yang tercatat dalam Joint Statement Presiden RI dan Presiden AS pada saat kunjungan Presiden Bush ke Indonesia, 20 November 2006, yang menyebutkan bahwa “...the
two countries are bound by a broad based-democratic partnership based
on equality, mutual respect, common interests and the shared values of
freedom, pluralism and tolerance...” .
Meskipun demikain, terdapat beberapa bidang kerjasama yang selalu menghasilkan output
yang sama tanpa perbaikan yang nyata, bahkan bisa disebut sebagai
agenda rutin tahunan kerjasama kedua belah pihak. Bidang-bidang tersebut
antara lain adalah pertama, kerjasama dalam mengatasi perubahan iklim.
Kedua adalah kerja sama dalam menciptakan dan melaksanakan
prinsip-prinsip good governance yang bertumpu pada
pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini dikarenakan
KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia
sehingga memerlukan best practice yang telah berpengalaman
untuk memecahkan masalah tersebut. Dari hasil kerjasama yang bersifat
rutin dan stagnan perbaikan, setidaknya terdapat dua cara dalam
memberantas KKN yaitu mencegah (preventif) dan upaya penanggulangan
(represif).
Tiga
bidang kerjsama lainnya yang masih belum memerlukan peningkatan peran
aktif dan kontribusi adalah kerjasama bidang pendidikan, bidang energi,
dan bidang penanganan bencana. Untuk bidang energi, sebenarnya Indonesia
dan AS ingin mengembangkan kerjasama di bidang pembangunan bioenergi,
atau biofuel sebagai energi alternatif. Dalam hal ini Amerika
Serikat telah siap untuk berbagi di bidang teknologi dan hal–hal lain
yang berkaitan dengan pengembangan energi alternatif khususnya biofuel, akan tetapi msih belum bisa terwujud.
Selain
kerja sama yang menghasilkan dampak stagnan, terdapat kerja sama yang
cukup baik dan perlu mendapat prioritas, antara lain kerja sama dalam
hal pengurangan emisi dari lahan gambut dan LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry)
melalui lima program yaitu informasi dasar, kebijakan yang menyeluruh,
peningkatan kapasitas untuk pemangku kepentingan lokal, penerapan konsep
yang telah terbukti dan alokasi dana khusus untuk lahan gambut dan
LULUCF.
Kerja sama
lain yang perlu mendapat prioritas adalah isu Laut Cina Selatan.
Kesepakatan kerja sama ini bersifat krusial, sebab kedua negara secara
langsung memiliki kepentingan vital di perairan tersebut. Bagi
Washington, terciptanya kebebasan bernavigasi di Laut Cina Selatan
merupakan hal yang tidak bisa dikompromikan. Adapun bagi Jakarta,
keutuhan wilayahnya di Laut Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina
Selatan yang diklaim pula oleh Beijing adalah suatu isu yang tidak bisa
ditawar.
Selanjutnya,
kerja sama hubungan keagamaan dan pemberantasan terorisme di antara
kedua belah pihak mengingat warga negara di kedua negara yang bersifat
majemuk dengan berbagai macam aliran agama dan adanya gerakan-gerakan
yang bersifat radikal. Hal ini seperti diungkapkan oleh Presiden AS
Barack Obama yang menjanjikan hubungan yang lebih baik dengan dunia
Muslim khususnya Indonesia dan menyerukan perang terhadap terorisme yang
telah membunuh orang-orang tidak berdosa.
Aly Yusuf, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar